Senin, 20 Desember 2010

Singgih Kartono


Siapa yang tidak kenal dengan singgih kartono?

pemilik piranti works yang pernah diwawancarai di metro ini memiliki beberapa penghargaan internasional dengan desain radio kayunya yang bernama magno.

Nama Singgih Kartono, seorang perancang produk asal Temanggung, Jawa Tengah mungkin belum terlalu dikenal di Indonesia, tetapi kiprahnya di dunia desain internasional khususnya desain ramah lingkungan sangat membanggakan. Dengan produk utama radio dari kayu, dirinya memenangkan kompetisi desain bertajuk “ Design with Memory” yang diadakan International Design Resource Association (IDRA) pada tahun 1997 di Seattle, USA. Karya desain Singgih berjudul “Crafts Radio” berhasil meraih 2nd Award dalam kompetisi desain internasional tersebut. Kini produknya menembus pasar luar negeri


Radio Kayu ‘Magno’
       
      Radio dari kayu? Emangnya ada? Suara bening, tampilan yahud, menghasilkan duit pula. Begitulah radio kayu buatan Singgih Kartono, 40 tahun. Mereknya Magno. Radio ini tak beda dengan radio lain, kecuali bahwa kotaknya terbuat dari kayu pinus dan sonokeling yang halus dan rapi—cantik luar biasa. Disainnya mengandung unsur “imut” dan juga bagus. Radio ini dapat menerima sinyal AM dan FM. Dapat dioperasikan hanya dengan 4 buah baterai AAA. Radio ini juga disertai dengan handle (pegangan) sehingga memudahkan dibawa kemana-mana. Sepintas terlihat seperti bentuk kotak biasa, namun panel depan dan belakangnya dibentuk dengan bentuk lengkung sehingga terkesan bentuk organik. Namun, bagian dalamnya berfungsi sebagaimana radio normal. Radio ini dapat menerima sinyal AM dan FM dan telah dioptimalkan untuk dapat digunakan di Jepang. Dengan channel FM, dapat menerima saluran TV analog darichannel 1 sampai 3.

    Untuk batang antena saluran FM, dapat dipanjangkan dalam 4 bagian. Dengan menggunakan baterai AAA sebanyak 4 buah, radio ini sudah bisa dinikmati. Penggunaan baterai electric charger pun bisa digunakan. Ada 3 tombol (dial) yang dapat dioperasikan. Tombol untuk tuning terdapat dibagian atas panel depan. Di bagian bawahnya terdapat tombol on-off dan juga tombol pengeras suara. Dengan memikirkan tentang keseimbangan bagian depan radio ini, kedua buah tombol ini dibuat dengan ukuran yang berbeda.
Di bagian belakang terdapat tombol pengatur saluran AM dan FM. Kemudian, dibawahnya terdapat tempat baterai. Untuk membuka dan menutup tempat baterai ini, digunakan lingkaran yang terbuat dari karet dan batang kayu ebony yang dapat diputar dengan tangan. Keterangan tentang produk ini tertulis dibalik cover baterai. Bagian-bagian kecilpun dipikirkan dengan sangat baik.

       Kemasan produk ini terdiri dari, 2 buah panel kayu balsa didirikan pada kedua sisinya, kemudian dibungkus dengan kertas kardus dan diikat dengan karet. Ketika produk ini dikirim, tidak ditemukan adanya kerusakan didalamnya, walaupun menggunakan material yang “seadanya” dan tetap cantik dilihat. Atas dasar itulah kemasan ini dirancang. Kerena kemasan ini dirancang dengan sangat hati-hati, maka amat sayang apabila kardus dari produk ini dibuang begitu saja.

         Produk “Radio Kayu” ini berbeda dengan produk lain yang terbuat dari plastik. Diperlukan perhatian khusus apabila ingin menggunakannya secara terus menerus. Untuk menghindari permukaan radio dari debu, maka permukaan kayu radio ini dilapis dengan minyak. Biasanya hanya diperlukan kain lembut untuk membersihkannya dan biarkan mengering. Harus dilakukan secara perlahan. Sesekali, permukaan radio ini perlu diolesi dengan teak oil atau sejenisnya dan dilap dengan kain yang lembut. Jika dirawat dengan baik dan hati-hati, “Radio Kayu” ini lama kelamaan bisa lebih bercahaya.

      Saat ini radio kayu atau wooden radio boleh dibilang merupakan salah satu hot item. Rupanya, ketika banyak produk dibuat dari plastik, materi dari kayu memberikan eksotisme tersendiri. Isu lingkungan juga membuat produk semacam ini naik daun. Alhasil, dalam sepuluh tahun terakhir, produk semacam ini banyak diburu. Produsen asal Cina termasuk yang cepat bergerak.
Toh, radio Singgih tetap punya daya tarik. Berbeda dengan produk lainnya yang masih memuat unsur di luar kayu seperti logam dan plastik, produk buatan Singgih memakai kayu sebagai materi utama. Peminatnya bejibun. Dari Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, tempat workshop-nya, Magno terbang ke Jepang, Inggris, Prancis, hingga Finlandia. ”Jepang merupakan pasar utama,” kata Singgih. ”Tidak terlalu besar, tapi terus berlanjut.” Dalam sebulan, Singgih mengirimkan 50 unit radio kayunya ke negeri Jepun. Di sana Magno dijual 17.500 yen. Untuk saat ini, Singgih memfokuskan pada pasar luar negeri. Alasannya sederhana: agar negeri ini, yang memiliki berbagai jenis kayu, dikenal sebagai penghasil produk kayu yang baik. Pasar dalam negeri pun terpaksa ditinggalkannya. Tahun ini pasar Amerika telah menanti produknya, berupa 2.000 unit radio kayu. ”Sekarang saya sedang mengerjakan order awal mereka,” katanya.


Kemenangan Yang Membuka Kesempatan
     
      Keberhasilan Singgih sebetulnya bermula secara tak sengaja. Sebelumnya, dia sempat menggarap produk furnitur yang memadukan logam dengan rotan. Niat itu kandas. Sebabnya banyak. Salah satunya kesulitan mendapatkan bahan. Hingga suatu ketika, seorang kawannya meminta dia membuat desain dari kayu. Permintaan itu seperti mengingatkannya: selama bertahun-tahun Singgih telah menggauli kayu. Sebelum membangun Piranti Works, perusahaannya kini, dia bekerja di sebuah perusahaan furnitur kayu selama tujuh tahun.
Sejak itu, Singgih mulai kembali menggarap kayu. Produk pertamanya kaca pembesar dengan bingkai kayu dalam berbagai ukuran. Kemudian, dia merambah ke alat-alat kantor. Tiba-tiba Singgih teringat proyek tugas akhir kuliahnya di Jurusan Desain Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Ketika mengajukan tugas akhir, dia membuat konsep radio kayu.




Radio kayu buatannya mulai dikenal ketika dia menang dalam ajang kompetisi desain internasional. Pada tahun 1997 Singgih Kartono mengikutkan karya desainnya yang diberi judul “Crafts Radio” pada kompetisi International Design Resource Association (IDRA). IDRA merupakan kompetisi tahunan bagi rancang produk berwawasan lingkungan. “Crafts Radio” dianggap memenuhi kriteria lomba yaitu berupa produk yang terbuat dari bahan/material yang “bersahabat pada lingkungan,” seperti material daur ulang, atau yang berasal dari sumber yang dapat diperbaharui. Produk yang dilombakan harus dapat didaur ulang atau dipakai kembali, juga harus dapat dimanufaktur secara ekonomis dan sesuai dengan pasar sasaran. Panitia bahkan menyiapkan paket contoh material yang dapat dipakai oleh para peserta lomba, di antaranya adalah: kaca, beberapa jenis plastik, kertas bekas campuran, puing dan bahan bangunan bekas, serta karet dari ban bekas. Kompetisi internasional yang sangat bergengsi ini terdiri atas juri-juri yang sangat kompeten di bidang desain. Tim jurinya terdiri dari perancang produk mancanegara, redaktur majalah desain Amerika, wakil dari dunia industri seperti IKEA (Swedia), arsitek, pengajar di bidang desain, serta pekerja di bidang produk daur ulang telah berkumpul di Seattle sejak bulan April 1997 dan memilih 46 produk dari 200 rancangan produk yang didaftarkan oleh peserta dari 21 negara untuk diikutsertakan dalam pameran IDRA. Karya Singgih termasuk dalam karya yang diundang untuk mengikuti pameran bahkan meraih 2nd Award dalam Kompetisi desain internasional yang berpusat di Seattle, USA.

Segera setelah kemenangannya di Seattle tahun 1997, panitia IDRA menggelar pameran yang sama di Jepang. Mereka mengundang Singgih. Tapi rupanya belum jodoh. 6 tahun setelah itu, pada tahun 2003, sang perancang mendirikan perusahaannya sendiri (Piranti Works). Rumahnya sendiri dijadikan sebagai tempat bekerja. Dengan mempekerjakan masyarakat sekitar, menggunakan kayu Indonesia, proses pembuatan produk inipun dimulai. Inilah awal mulanya brand Magno. Setelah perlahan-lahan menyiapkan produk ini, akhirnya pada bulan Desember 2006, produk ini kembali dipasarkan di Jepang. Sambutannya cukup menggembirakan. Pembeli di sana meminta dalam jumlah banyak, untuk dijual secara online. Gara-gara dijual online, berbagai situs Internet mengulas Magno. Mereka membedah fungsi, desain, hingga konsep usahanya yang ramah lingkungan. Konsep eco productyang diusungnya menjadi nilai tambah. Semua materi yang dipakai untuk produk ini didapatkan dari tanaman yang tumbuh di kampung halamannya. Kayu sonokeling, misalnya, diambil dari Magelang. ”Saat ini saya melakukan pembibitan tanaman yang dibutuhkan dalam usaha ini,” katanya. Memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya, begitulah konsep usahanya.

Konsep Dibalik Radio Kayu ‘Magno’
         Awal pergumulan Singgih dengan “Craft Radio” diawali saat dirinya masih menuntut ilmu di ITB dan mempelajari bidang Desain Produk. Tema untuk skripsinya adalah “ desain radio reciever dengan menggunakan teknologi handicraft Indonesia”. Setelah lulus, saya menjadi perancang di bidang handicraft dan pada tahun 2003 sampai sekarang sibuk di perusahaan saya sendiri.
Seri produk Magno ini awalnya adalah berupa kumpulan dari pecahan ide-ide desain produk. Salah satu dari ide itu adalah radio kayu tersebut. Setelah itu, setelah berkembangnya seri-seri produk tersebut, saya harus memperbaiki konsep saya sekali lagi menjadi “kerajinan kayu yang berfungsi simple”. Tema yang saya ambil adalah hubungan antara produk dengan pengguna. Bukan hubungan seperti master andservant. Produk-produk ini merupakan bagian dari hidup kita.




Mengapa memilih Magno sebagai merek produknya? Magno berasal dari kata magnify(membesarkan). Ia memilih kata itu sesuai dengan produk pertama yang dibuatnya berupa kaca pembesar dari kayu. “Saya sendiri memiliki interpretasi mengenai ‘magno’. Saya mengartikan ‘magno’ sebagai ‘melihat detil/rincian’ seperti halnya fungsi dari kaca pembesar. Suatu benda yang kecil, sederhana, dan indah dengan kualitas kerajinan tinggi sehingga mengajak orang-orang untuk memberikan perhatian lebih ke detail-detail produk dimaksud.” Singgih memilih ‘g’ sebagai logo karena bentuknya yang bersiluet indah, saya ingin menciptakan produk-produk seunik huruf ‘g’ itu, demikian paparnya. 

(berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar