Senin, 20 Desember 2010

Biografi :


Didik Nini Thowok
 memiliki nama asli Didik Hadiprayitno, lahir di Yogyakarta, 13 November 1954. Ia adalah seniman dengan 'berbasis' pada kesenian tari, dan terkenal dengan tarian 'dua muka'-nya, yaitu sebuah tarian yang menjalankan dua karakter wajah sekaligus dengan menggunakan topeng depan belakang.

Pria yang juga ketua LPK Tari NatyaLakshita Yogyakarta itu menggeluti kesenian tari dan menawarkan kombinasi baik tari tradisional, modern dan tarian komedi. Kesemuanya digali dari tarian-tarian Sunda, Cirebon, Bali, dan Jawa.

Pemimpin Didik Nini Thowok Foundation dan Didik Nini Thowok Entertainment itu menggeluti dunia tari sejak usia belia, dan lama 'ngamen' di Malioboro, yaitu sebuah kawasan kreativitas para seniman di Yogyakarta.


Masa Kecil
Karena sakit-sakitan orang tuanya mengubah namanya menjadi Kwee Tjoen An. Ayah Didik, Kwee Yoe Tiang, merupakan seorang peranakan Tionghoa yang "terdampar" di Temanggung sedangkan ibunya, Suminah, adalah wanita Jawa asli, asal Desa Citayem, Tjilatjap. Didik adalah sulung dari lima bersaudara (keempat adiknya perempuan). Setelah G30S/PKI, keturunan Tionghoa diwajibkan mengganti nama Tionghoa mereka menjadi nama pribumi sehingga nama Kwee Tjoen An pun menjadi Didik Hadiprayitno.
Kehidupan masa kecil Didik penuh keprihatinan. Ayahnya bisnis jual beli kulit kambing dan sapi. Ibunya membuka kios di Pasar Kayu. Hidup bersama mereka adalah kakek dan nenek Didik. Maka keluarga Didik harus hidup pas-pasan. Sebagai anak dan cucu pertama, Didik selalu dimanja oleh seluruh anggota keluarga. Selain itu, Didik tidak nakal seperti kebanyakan anak laki-laki seumurannya. Ia cenderung seperti anak perempuan dan menyukai permainan mereka, seperti pasar-pasaran (berjualan), masak-masakan, dan ibu-ibuan. Saat kecil pun Didik diajari oleh neneknya ketrampilan perempuan seperti menjahit, menisik, menyulam, dan merenda.
Belajar Menari
Saat masih sekolah, Didik suka menggambar dan menyanyi (suaranya bagus terutama saat menyanyi tembang Jawa). Namun setelah mengenal dunia tari akibat sering menonton pertunjukan wayang orang yang berupa sendratari, Didik pun bertekad untuk mempelajari tari. Sayangnya perekonomian keluarga yang pas-pasan menyulitkan langkah Didik untuk belajar.
Akhirnya Didik meminta teman sekelasnya Sumiasih, yang pandai menari dan nembang, untuk mengajarinya tari-tarian wayang orang. Menari bukan hal yang sulit dilakukan, karena selain tubuhnya yang lentur, Didik juga berbakat. Guru Didik berikutnya adalah Ibu Sumiyati yang mengajarinya dan ketiga adiknya, tari Jawa klasik gaya Surakarta. Didik membayar guru ini dari hasil menyewakan komik warisan kakeknya. Didik juga belajar tarian Bali klasik dari seorang tukang cukur rambut.
Didik berguru pada A. M. Sudiharjo, yang pandai menari Jawa Klasik juga sering menciptakan tari kreasi baru. Didik ikut kursus menari di Kantor Pembinaan Kebudayaan Kabupaten Temanggung. Salah satu gurunya adalah Prapto Prasojo, yang juga mengajar di padepokan tari milik Bagong Kussudiarjo di Yogyakarta.
Koreografi tari ciptaan Didik yang pertama dibuat pada pertengahan 1971. Tarian itu diberi judul “Tari Persembahan”, yang merupakan gabungan gerak tari Bali dan Jawa. Didik tampil pertama kali sebagai penari wanita; berkebaya dan bersanggul saat acara kelulusan SMA tahun 1972. Saat itu, didik juga mempersembahakan tari ciptaannya sendiri dengan sangat luwes.

Kuliah
Setelah lulus SMA, impian Didik untuk melanjutkan kuliah di ASTI Yogyakarta terbentur pada biaya. Didik pun bekerja, tak jauh dari kesukaannya, menari. Didik menjadi pegawai honorer di Kabin Kebudayaan Kabupaten Temanggung dengan tugas mengajar tari di beberapa sekolah (SD dan SMP), serta memberi les privat menari untuk anak-anak di sekitar Temanggung.
Dua tahun setelah lulus SMA, Didik bertekad untuk kuliah di ASTI. Berbekal uang tabungannya, Didik berangkat ke Yogyakarta dan mendaftar di ASTI. Berkat Tari Manipuri, tarian wanita yang diperagakannya dengan begitu cantik, Didik berhasil memikat tim juri ASTI. Sehingga Didik diterima dan dinyatakan sebagai mahasiswa ASTI angkatan 1974.
Pribadinya yang hangat, kocak dan santun tak menyulitkan Didik untuk mendapat teman. Bersama teman-teman barunya, Didik menampilkan fragmen tari berjudul Ande-ande Lumut. Didik berperan sebagai Mbok Rondo Dadapan, janda centil dari Desa Dadapan. Penampilan Didik sangat memukau mahasiswa ASTI yang lain.
Menjadi anak kost sangat sulit bagi Didik, karena tak mungkin mengharapkan kiriman dari rumah. Ketrampilan 'perempuan' yang dulu diajarkan neneknya terasa sangat berguna. Didik menerima pesanan membuat hiasan bordir, juga menjual hasil kerajinannya, seperti syal dan taplak meja.
Beberapa bulan setelah mulai kuliah, Didik menerima tawaran dari kakak angkatannya, Bekti Budi Hastuti (Tutik) untuk membantu dalam fragmen tari Nini Thowok bersama Sunaryo. Nini Thowok atau Nini Thowong adalah semacam permainan jailangkung yang biasa dimainkan masyarakat Jawa tradisional. Pementasan ini sangat sukses. Kesuksesannya membawa trio tersebut pentas diberbagai acara. Merekapun mengemas pertunjukan mereka dengan konsep yang lebih matang. Saat Sunaryo mengundurkan diri, posisinya digantikan Bambang Leksono Setyo Aji, teman sekos Didik. Mereka lantas menyebut kelompok mereka sebagai Bengkel Nini Thowok. Dan di belakang nama mereka melekat nama tambahan Nini Thowok (berarti: "nenek yang menyeramkan"). Setelah itu, karier Didik Nini Thowok sebagai penari terus berlanjut, bahkan Didik sering muncul di televisi.
Didik terus mengembangkan kemampuan tarinya dengan berguru ke mana-mana. Didik berguru langsung pada maestro tari Bali, I Gusti Gde Raka, di Gianyar. Ia juga mempelajari tari klasik Sunda dari Endo Suanda; Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan yang dipelajarinya dari tokoh besar Topeng Cirebon, Ibu Suji. Saat pergi ke Jepang, Didik mempelajari tari klasik Noh (Hagoromo), di Spanyol, ia pun belajar tari Flamenco.
Karier
Setelah menyelesaikan studinya dan berhak menyandang gelar Didik Hadiprayitno, SST (Sarjana Seni Tari), Didik ditawari almamaternya, ASTI Yogyakarta untuk mengabdi sebagai staff pengajar. Selain diangkat menjadi dosen di ASTI, ia juga diminta jadi pengajar Tata Rias di Akademi Kesejahteraan 

Mobil Terbaru Buatan Indonesia



        

Menteri Perindustrian Fahmi Idris menyatakan dukungannya terhadap mobil buatan dalam negeri, salah satunya mobil mini hasil rancangan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes).

“Selama ini kami selalu berangan-angan bisa mengangkat produk mobil buatan dalam negeri. Adanya mobil buatan Unnes ini kami sangat mendukung. Jika dimungkinkan tentu akan kita upayakan adanya kerja sama dan sebagainya untuk pengembangannya,” ujarnya usai mengikuti forum komunikasi pimpinan departemen perindustrian/instansi terkait dengan dunia usaha di Hotel Patra Jasa, Jumat.Ia berharap, mobil buatan dalam negeri tersebut dapat dipamerkan pada ajang pameran di Jakarta nanti.“Kami berharap mobil tersebut mendapatkan tempat di depan, sehingga mudah dilihat pengunjung,” ujarnya.Fahmi mengaku bangga dan sangat berapresiasi atas kehadiran mobil buatan dalam negeri tersebut, meski dalam kondisi perekonomian sekarang tetap berinisiatif dan berinovasi. “Mudah-mudahan ini menjadi salah satu mobil dalam negeri. Tujuan kita kapan bisa mensponsori salah satu industri mobil buatan Indonesia,” ujarnya.

Pada kesempatan singkat, Fahmi menyempatkan diri melihat mobil prototipe yang disebut oleh pencetusnya sebagai mobil “microcar” atau mobil dengan ukuran yang sangat mini dengan merek Arina kepanjangan dari armada Indonesia.


Pangesthi sebagai pihak yang mensponsori pembuatan mobil dalam negeri itu menjelaskan, mobil tersebut memiliki panjang sekitar 3 meter dengan volume ruang sekitar 2.400 liter dengan kapasitas tempat duduk untuk dua orang dan tempat bagasi.
Alasan utama pembuatan “microcar”, katanya, untuk tujuan ekonomis dan efisiensi, karena konsumsi bahan bakar jenis premium sekitar 40 kilometer/liter

        Merek dagang Arina juga terdaftar di Departemen Hukum dan HAM RI untuk kategori alat transportasi. Harga jual mobil mungil yang diprakarsai oleh salah satu Dosen Teknik Mesin Unnes tersebut, diperkirakan sekitar Rp30 juta per unit.

(antara/ republika)

Singgih Kartono


Siapa yang tidak kenal dengan singgih kartono?

pemilik piranti works yang pernah diwawancarai di metro ini memiliki beberapa penghargaan internasional dengan desain radio kayunya yang bernama magno.

Nama Singgih Kartono, seorang perancang produk asal Temanggung, Jawa Tengah mungkin belum terlalu dikenal di Indonesia, tetapi kiprahnya di dunia desain internasional khususnya desain ramah lingkungan sangat membanggakan. Dengan produk utama radio dari kayu, dirinya memenangkan kompetisi desain bertajuk “ Design with Memory” yang diadakan International Design Resource Association (IDRA) pada tahun 1997 di Seattle, USA. Karya desain Singgih berjudul “Crafts Radio” berhasil meraih 2nd Award dalam kompetisi desain internasional tersebut. Kini produknya menembus pasar luar negeri


Radio Kayu ‘Magno’
       
      Radio dari kayu? Emangnya ada? Suara bening, tampilan yahud, menghasilkan duit pula. Begitulah radio kayu buatan Singgih Kartono, 40 tahun. Mereknya Magno. Radio ini tak beda dengan radio lain, kecuali bahwa kotaknya terbuat dari kayu pinus dan sonokeling yang halus dan rapi—cantik luar biasa. Disainnya mengandung unsur “imut” dan juga bagus. Radio ini dapat menerima sinyal AM dan FM. Dapat dioperasikan hanya dengan 4 buah baterai AAA. Radio ini juga disertai dengan handle (pegangan) sehingga memudahkan dibawa kemana-mana. Sepintas terlihat seperti bentuk kotak biasa, namun panel depan dan belakangnya dibentuk dengan bentuk lengkung sehingga terkesan bentuk organik. Namun, bagian dalamnya berfungsi sebagaimana radio normal. Radio ini dapat menerima sinyal AM dan FM dan telah dioptimalkan untuk dapat digunakan di Jepang. Dengan channel FM, dapat menerima saluran TV analog darichannel 1 sampai 3.

    Untuk batang antena saluran FM, dapat dipanjangkan dalam 4 bagian. Dengan menggunakan baterai AAA sebanyak 4 buah, radio ini sudah bisa dinikmati. Penggunaan baterai electric charger pun bisa digunakan. Ada 3 tombol (dial) yang dapat dioperasikan. Tombol untuk tuning terdapat dibagian atas panel depan. Di bagian bawahnya terdapat tombol on-off dan juga tombol pengeras suara. Dengan memikirkan tentang keseimbangan bagian depan radio ini, kedua buah tombol ini dibuat dengan ukuran yang berbeda.
Di bagian belakang terdapat tombol pengatur saluran AM dan FM. Kemudian, dibawahnya terdapat tempat baterai. Untuk membuka dan menutup tempat baterai ini, digunakan lingkaran yang terbuat dari karet dan batang kayu ebony yang dapat diputar dengan tangan. Keterangan tentang produk ini tertulis dibalik cover baterai. Bagian-bagian kecilpun dipikirkan dengan sangat baik.

       Kemasan produk ini terdiri dari, 2 buah panel kayu balsa didirikan pada kedua sisinya, kemudian dibungkus dengan kertas kardus dan diikat dengan karet. Ketika produk ini dikirim, tidak ditemukan adanya kerusakan didalamnya, walaupun menggunakan material yang “seadanya” dan tetap cantik dilihat. Atas dasar itulah kemasan ini dirancang. Kerena kemasan ini dirancang dengan sangat hati-hati, maka amat sayang apabila kardus dari produk ini dibuang begitu saja.

         Produk “Radio Kayu” ini berbeda dengan produk lain yang terbuat dari plastik. Diperlukan perhatian khusus apabila ingin menggunakannya secara terus menerus. Untuk menghindari permukaan radio dari debu, maka permukaan kayu radio ini dilapis dengan minyak. Biasanya hanya diperlukan kain lembut untuk membersihkannya dan biarkan mengering. Harus dilakukan secara perlahan. Sesekali, permukaan radio ini perlu diolesi dengan teak oil atau sejenisnya dan dilap dengan kain yang lembut. Jika dirawat dengan baik dan hati-hati, “Radio Kayu” ini lama kelamaan bisa lebih bercahaya.

      Saat ini radio kayu atau wooden radio boleh dibilang merupakan salah satu hot item. Rupanya, ketika banyak produk dibuat dari plastik, materi dari kayu memberikan eksotisme tersendiri. Isu lingkungan juga membuat produk semacam ini naik daun. Alhasil, dalam sepuluh tahun terakhir, produk semacam ini banyak diburu. Produsen asal Cina termasuk yang cepat bergerak.
Toh, radio Singgih tetap punya daya tarik. Berbeda dengan produk lainnya yang masih memuat unsur di luar kayu seperti logam dan plastik, produk buatan Singgih memakai kayu sebagai materi utama. Peminatnya bejibun. Dari Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, tempat workshop-nya, Magno terbang ke Jepang, Inggris, Prancis, hingga Finlandia. ”Jepang merupakan pasar utama,” kata Singgih. ”Tidak terlalu besar, tapi terus berlanjut.” Dalam sebulan, Singgih mengirimkan 50 unit radio kayunya ke negeri Jepun. Di sana Magno dijual 17.500 yen. Untuk saat ini, Singgih memfokuskan pada pasar luar negeri. Alasannya sederhana: agar negeri ini, yang memiliki berbagai jenis kayu, dikenal sebagai penghasil produk kayu yang baik. Pasar dalam negeri pun terpaksa ditinggalkannya. Tahun ini pasar Amerika telah menanti produknya, berupa 2.000 unit radio kayu. ”Sekarang saya sedang mengerjakan order awal mereka,” katanya.


Kemenangan Yang Membuka Kesempatan
     
      Keberhasilan Singgih sebetulnya bermula secara tak sengaja. Sebelumnya, dia sempat menggarap produk furnitur yang memadukan logam dengan rotan. Niat itu kandas. Sebabnya banyak. Salah satunya kesulitan mendapatkan bahan. Hingga suatu ketika, seorang kawannya meminta dia membuat desain dari kayu. Permintaan itu seperti mengingatkannya: selama bertahun-tahun Singgih telah menggauli kayu. Sebelum membangun Piranti Works, perusahaannya kini, dia bekerja di sebuah perusahaan furnitur kayu selama tujuh tahun.
Sejak itu, Singgih mulai kembali menggarap kayu. Produk pertamanya kaca pembesar dengan bingkai kayu dalam berbagai ukuran. Kemudian, dia merambah ke alat-alat kantor. Tiba-tiba Singgih teringat proyek tugas akhir kuliahnya di Jurusan Desain Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Ketika mengajukan tugas akhir, dia membuat konsep radio kayu.




Radio kayu buatannya mulai dikenal ketika dia menang dalam ajang kompetisi desain internasional. Pada tahun 1997 Singgih Kartono mengikutkan karya desainnya yang diberi judul “Crafts Radio” pada kompetisi International Design Resource Association (IDRA). IDRA merupakan kompetisi tahunan bagi rancang produk berwawasan lingkungan. “Crafts Radio” dianggap memenuhi kriteria lomba yaitu berupa produk yang terbuat dari bahan/material yang “bersahabat pada lingkungan,” seperti material daur ulang, atau yang berasal dari sumber yang dapat diperbaharui. Produk yang dilombakan harus dapat didaur ulang atau dipakai kembali, juga harus dapat dimanufaktur secara ekonomis dan sesuai dengan pasar sasaran. Panitia bahkan menyiapkan paket contoh material yang dapat dipakai oleh para peserta lomba, di antaranya adalah: kaca, beberapa jenis plastik, kertas bekas campuran, puing dan bahan bangunan bekas, serta karet dari ban bekas. Kompetisi internasional yang sangat bergengsi ini terdiri atas juri-juri yang sangat kompeten di bidang desain. Tim jurinya terdiri dari perancang produk mancanegara, redaktur majalah desain Amerika, wakil dari dunia industri seperti IKEA (Swedia), arsitek, pengajar di bidang desain, serta pekerja di bidang produk daur ulang telah berkumpul di Seattle sejak bulan April 1997 dan memilih 46 produk dari 200 rancangan produk yang didaftarkan oleh peserta dari 21 negara untuk diikutsertakan dalam pameran IDRA. Karya Singgih termasuk dalam karya yang diundang untuk mengikuti pameran bahkan meraih 2nd Award dalam Kompetisi desain internasional yang berpusat di Seattle, USA.

Segera setelah kemenangannya di Seattle tahun 1997, panitia IDRA menggelar pameran yang sama di Jepang. Mereka mengundang Singgih. Tapi rupanya belum jodoh. 6 tahun setelah itu, pada tahun 2003, sang perancang mendirikan perusahaannya sendiri (Piranti Works). Rumahnya sendiri dijadikan sebagai tempat bekerja. Dengan mempekerjakan masyarakat sekitar, menggunakan kayu Indonesia, proses pembuatan produk inipun dimulai. Inilah awal mulanya brand Magno. Setelah perlahan-lahan menyiapkan produk ini, akhirnya pada bulan Desember 2006, produk ini kembali dipasarkan di Jepang. Sambutannya cukup menggembirakan. Pembeli di sana meminta dalam jumlah banyak, untuk dijual secara online. Gara-gara dijual online, berbagai situs Internet mengulas Magno. Mereka membedah fungsi, desain, hingga konsep usahanya yang ramah lingkungan. Konsep eco productyang diusungnya menjadi nilai tambah. Semua materi yang dipakai untuk produk ini didapatkan dari tanaman yang tumbuh di kampung halamannya. Kayu sonokeling, misalnya, diambil dari Magelang. ”Saat ini saya melakukan pembibitan tanaman yang dibutuhkan dalam usaha ini,” katanya. Memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya, begitulah konsep usahanya.

Konsep Dibalik Radio Kayu ‘Magno’
         Awal pergumulan Singgih dengan “Craft Radio” diawali saat dirinya masih menuntut ilmu di ITB dan mempelajari bidang Desain Produk. Tema untuk skripsinya adalah “ desain radio reciever dengan menggunakan teknologi handicraft Indonesia”. Setelah lulus, saya menjadi perancang di bidang handicraft dan pada tahun 2003 sampai sekarang sibuk di perusahaan saya sendiri.
Seri produk Magno ini awalnya adalah berupa kumpulan dari pecahan ide-ide desain produk. Salah satu dari ide itu adalah radio kayu tersebut. Setelah itu, setelah berkembangnya seri-seri produk tersebut, saya harus memperbaiki konsep saya sekali lagi menjadi “kerajinan kayu yang berfungsi simple”. Tema yang saya ambil adalah hubungan antara produk dengan pengguna. Bukan hubungan seperti master andservant. Produk-produk ini merupakan bagian dari hidup kita.




Mengapa memilih Magno sebagai merek produknya? Magno berasal dari kata magnify(membesarkan). Ia memilih kata itu sesuai dengan produk pertama yang dibuatnya berupa kaca pembesar dari kayu. “Saya sendiri memiliki interpretasi mengenai ‘magno’. Saya mengartikan ‘magno’ sebagai ‘melihat detil/rincian’ seperti halnya fungsi dari kaca pembesar. Suatu benda yang kecil, sederhana, dan indah dengan kualitas kerajinan tinggi sehingga mengajak orang-orang untuk memberikan perhatian lebih ke detail-detail produk dimaksud.” Singgih memilih ‘g’ sebagai logo karena bentuknya yang bersiluet indah, saya ingin menciptakan produk-produk seunik huruf ‘g’ itu, demikian paparnya. 

(berbagai sumber)



  • Sejarah Batik di Indonesia
       Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

        Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.

        Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

        Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

        Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

        Jaman MajapahitBatik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

        Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.


  • Sejarah Batik Pekalongan
       Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag, motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa bahan baju.

       Namun perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang besar pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah - daerah baru itu para keluarga dan pengikutnya mengembangkan batik.

       Ke timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang.

       Seiring berjalannya waktu, Batik Pekalongan mengalami perkembangan pesat dibandingkan dengan daerah lain. Di daerah ini batik berkembang di sekitar daerah pantai, yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah Buaran, Pekajangan serta Wonopringgo.


  • Batik Pekalongan, antara Masa Lampau dan Kini
       BATIK pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik pekalongan dikerjakan di rumah-rumah.

       Akibatnya, batik pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Batik pekalongan adalah napas kehidupan sehari-sehari warga Pekalongan. Ia menghidupi dan dihidupi warga Pekalongan.

       Meskipun demikian, sama dengan usaha kecil dan menengah lainnya di Indonesia, usaha batik pekalongan kini tengah menghadapi masa transisi. Perkembangan dunia yang semakin kompleks dan munculnya negara pesaing baru, seperti Vietnam, menantang industri batik pekalongan untuk segera mentransformasikan dirinya ke arah yang lebih modern.

       Gagal melewati masa transisi ini, batik pekalongan mungkin hanya akan dikenang generasi mendatang lewat buku sejarah.

       Ketika itu, pola kerja tukang batik masih sangat dipengaruhi siklus pertanian. Saat berlangsung masa tanam atau masa panen padi, mereka sepenuhnya bekerja di sawah. Namun, di antara masa tanam dan masa panen, mereka bekerja sepenuhnya sebagai tukang batik.

       ZAMAN telah berubah. Pekerja batik di Pekalongan kini tidak lagi didominasi petani. Mereka kebanyakan berasal dari kalangan muda setempat yang ingin mencari nafkah. Hidup mereka mungkin sepenuhnya bergantung pada pekerjaan membatik.

       Apa yang dihadapi industri batik pekalongan saat ini mungkin adalah sama dengan persoalan yang dihadapi industri lainnya di Indonesia, terutama yang berbasis pada pengusaha kecil dan menengah.

       Persoalan itu, antara lain, berupa menurunnya daya saing yang ditunjukkan dengan harga jual produk yang lebih tinggi dibanding harga jual produk sejenis yang dihasilkan negara lain. Padahal, kualitas produk yang dihasikan negara pesaing lebih baik dibanding produk pengusaha Indonesia.

       Penyebab persoalan ini bermacam-macam, mulai dari rendahnya produktivitas dan keterampilan pekerja, kurangnya inisiatif pengusaha untuk melakukan inovasi produk, hingga usangnya peralatan mesin pendukung proses produksi.

Student Community

Semarang, undip.ac.id - Pembangunan berbasis komunitas saat ini menjadi tren baru pembangunan di Indonesia, khususnya pasca reformasi. Pengembangan Masyarakat (Community Development) menjadi kata yang cukup akrab terdengar di telinga kita. Bahkan pemerintah pun mengalokasikan anggaran yang cukup besar melalui program nasional pemberdayaan masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa pola pembangunan berbasis komunitas  memiliki arti strategis untuk menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia yang majemuk.